Friday, March 12, 2010

Hidup akan lebih berarti bila disyukuri

Hari Rabu pagi, seperti biasa saya masih bermalas-malasan di depan laptop saya. Memang kadang, punya akses internet dengan kecepat tinggi itu cukup menyita waktu. Kalau tidak pandai-pandai mengatur waktu, satu hari bisa habis di depan laptop untuk hal yang itu-itu saja. Lalu datanglah sebuah e-mail yang masuk ke inbox saya. Setelah saya membacanya, jelas e-mail ini membuat saya sumringah sepanjang hari. E-mail itu datang dari salah satu institusi bergengsi di Britania Raya. Tepatnya, e-mail itu berupa Letter of Offer untuk program Summer School dari London School of Economics. Saya diterima.

Beberapa minggu lalu, saya memang mencoba mendaftar untuk sebuah mata kuliah musim panas di London School of Economics and Political Science, atau yang lebih dikenal dengan LSE. Institusi yang didirikan pada tahun 1895 ini memang telah membuktikan diri sebagai salah satu institusi di bidang ilmu sosial terbaik di dunia. Berdasarkan ranking tahun lalu (2009), Times Higher Education menempatkan LSE di ranking 5 dunia. Hanya kalah dengan Harvard, Berkeley, Oxford dan Cambridge. Sisanya, LSE masih berada diatas Stanford, Yale, Princeton dan Columbia. Diantara semua nama tersebut, mungkin dari sisi jumlah mahasiswa, LSE lah yang paling mini. Dengan jumlah mahasiswa yang hanya sekitar 8,000, LSE memang lebih kecil dibandingkan Harvard yang punya sekitar 20,000 mahasiswa, atau Cambridge yang punya 18,000 mahasiswa. Karena memang dari awal pendiriannya, institusi ini memang didirikan sebagai
specialist single-faculty constituent college.

LSE menjadi bagian dari University of London pada tahun 1900. Sampai hari ini, institusi ini sudah mencetak 17 Nobel Laureate, 43 pimpinan negara, dan masih banyak lagi sisanya. Di Asia, beberapa alumninya termasuk Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura) dan Taro Aso (PM Jepang). Sedangkan di Indonesia, beberapa alumni LSE yang cukup reputable dalam pemerintahan meliputi Marty Natalegawa (Menteri Luar Negeri), Dino Patti Djalal (Mantan juru bicara kepresidenan), dan Juwono Sudarsono (Mantan Menteri Pertahanan).

**

Lantas apa sebenarnya yang hendak saya sampaikan disini ? Apa hubungannya dengan judul tulisan ini ? Jadi begini, setelah kemarin saya mendapat surat penerimaan itu lantas saya tertegun. Berhenti sejenak, lantas saya sedikit merenung. Selama dua puluh tahun ini saya hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang Tuhan anugerahkan kepada saya. Dilahirkan dari seorang ibu yang bekerja di perusahaan penerbangan nasional, memungkinkan saya mengunjungi berbagai tempat di tanah air maupun di luar negeri. Fasilitas tiket untuk keluarga karyawan inilah yang sampai kapanpun akan terus saya syukuri. Betapa banyak orang yang ingin bertemu sanak saudaranya di berbagai tempat terhambat masalah biaya. Jangankan naik pesawat, membeli tiket bus saja mereka kesulitan. Sungguh, ini anugerah.

Lalu kesempatan berpendidikan. Seperti yang saya tulis dalam surat aplikasi saya ke Universiteit van Amsterdam, tahukah kalian fakta demografi negara kita ? Seorang dosen ekonomi demografi memberi tahu saya dan rekan-rekan saya bahwasannya, dari total populasi 230 juta penduduk di Indonesia, yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi tidak lebih dari 5%. Memang ironis, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-13 di dunia, hanya bisa memfasilitasi kurang dari 5% penduduknya untuk duduk di bangku perguruan tinggi. Tetapi fakta inilah yang membuat saya tidak putus-putusnya bersyukur. Menjadi mahasiswa Universitas Indonesia memanglah sebuah kebangaan bagi saya, tapi itu juga sebuah tanggung jawab besar. Bayangkan kawan, kita semua yang bisa berkuliah ini hanyalah bagian dari 5% penduduk. Lantas kemana yang 95% lainnya ?

Belum lagi ditambah dengan salah satu anugerah terindah yang pernah terjadi dalam hidup saya. Berkuliah di luar negeri. Memang bukan Harvard atau Cambridge, tapi untuk mendapat kesempatan merasakan rasanya belajar di universitas yang tahun lalu menempati ranking 49 dunia sudah cukup membuat banyak sanak saudara dan keluarga saya menangis terharu. Mungkin tidak sampai 0.5% dari populasi kita yang bisa punya kesempatan yang sama seperti saya. Berkesempatan menuntut ilmu di luar negeri, bagi saya adalah bagian dari mimpi, cita-cita, prestasi dan yang jelas karunia Ilahi. Dengan begini saya jelas bisa membuka mata, pola pikir dan wawasan. Tidak hanya sebatas di ruang kelas. Tapi kapan lagi bisa punya kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar cerita dari sudut pandang yang berbeda dengan berbagai warga dunia lainnya. Berdiskusi dengan atheis dari Rusia, para sekuler Eropa, sampai dengan mereka yang katanya liberalis dari Amerika. Semuanya ada. Sungguh, semakin banyak tempat saya kunjungi, semakin banyak hal yang harus saya syukuri. Semakin banyak perbincangan saya dengan manusia-manusia dari latar belakang berbeda, semakin saya mengenali jati diri saya sendiri.

Saya pun teringat salah satu sahabat saya menyampaikan kepada saya satu penggalan ayat Al-Qur'an :

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"
(QS.55:55)

Dan pernyataan itupun memang diulang berkali-kali dalam surat tersebut (Surat Ar-Rahman). Tidak hanya di ayat 55, tetapi terdapat banyak ayat lainnya di surat tersebut yang artinya adalah sama : "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan ?"

Meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu jelas mengajarkan saya banyak bersyukur. Kepada kawan-kawan yang masih berada di tanah air, bersyukurlah atas nikmat masih bisa mendengar adzan di langit-langit kota kalian. Disini, singkat kata, suara adzan tidak terdengar lebih dari tembok masjidnya. Mengapa ? karena adzan hanya dikumandangkan di dalam masjid tanpa pengeras suara keluar. Bersyukurlah kita untuk hanya perlu melangkahkan kaki beberapa ratus meter untuk menunikan solat Jum'at berjamaah. Disini, saya perlu pergi hampir kurang lebih 10 km jauhnya untuk bisa menunaikan solat Jum'at dengan khotbah berbahasa Indonesia.

Bersyukurlah kita dengan matahari yang terus menyala sepanjang tahun di Indonesia. Disini, bersiaplah merindukan matahari kalau sudah musim dingin. Bersyukurlah kita tidak perlu repot-repot memakai baju berlapis-lapis tebalnya hanya untuk pergi ke warung membeli sayur. Disini, hanya untuk sekedar keluar membuang sampah-pun, saya perlu memakai jaket.

Sudah terlalu banyak nikmat Tuhan yang mungkin selama ini kurang saya syukuri. Pergi ke kampus dengan naik sepeda 4 km jauhnya sambil ditemani hembusan angin dan udara dingin kadang membuat saya mengeluh. Tapi setelah saya renungkan, ternyata itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan adik-adik kelas saya yang harus jalan kaki ke sekolah tanpa sepatu sejauh 10-15 km di banyak pedalaman di Indonesia. Sungguh, saya harus banyak bersyukur dan berhenti mengeluh.

Pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwasannya, dengan bersyukur hidup jadi jauh lebih berarti. Hanya dengan bersyukur dan berterima kasih-lah kita bisa hidup bahagia.
I realize that, to be thankful and grateful is the only way to be happy. Banyaklah bersyukur atas segala nikmat yang telah Tuhan anugerahkan. Manfaatkan dan nikmati segala nikmat itu guna kesejahteraan bersama. Saya sendiri merasa perlu lebih banyak bersyukur dengan cara belajar dengan sungguh-sungguh lalu pulang untuk mengabdi. Pada hakekatnya, yang beruntung harus membantu yang kurang beruntung.

Hanya ada satu kata untuk menutup tulisan ini. Dengan segala kerendahan hati atas semua nikmat yang harus saya syukuri : Alhamdulillah ya Allah.

No comments:

Post a Comment