Thursday, March 18, 2010

Matahari musim semi

Hari ini begitu indah. Saya baru saja berolahraga yang dilanjutkan dengan makan siang. 186 kalori diatas treadmill, kemudian sedikit weight training. Udara diluar sungguh cerah, matahari tersenyum lebar hari ini. 15 derajat suhunya. Anginnya pun begitu bersahabat, semilir di wajah yang sudah lama rindukan cahaya matahari. Luar biasa indah. Tampaknya musim semi telah tiba di Belanda.

Lalu sejenak saya berfikir, kok enak juga ya cuaca nya bisa beda-beda begini. Dulu waktu di Indonesia, saya hanya tahu musim panas dan musim hujan. Walaupun tampaknya sekarang sudah sama saja, setiap hari di Jakarta teriknya tidak karuan. Ya, mungkin ini uniknya tinggal di negara empat musim. Lantas apa maknanya buat saya ? Mari sedikit berbicara tentang cuaca.

Buat saya pribadi, hidup di negara empat musim itu lebih butuh ketelitian. Misalnya begini, salah satu ritual pagi saya setiap bangun dari tidur, salah satunya adalah mengecek temperatur dan prakiraan cuaca. Seperti apa cuaca hari ini di luar, berapa kira-kira suhu di luar hari ini, apakah akan hujan atau tidak, berapa kecepatan anginnya, berapa kelembabannya, dll. Mengapa ini menjadi penting ? Inilah dasar untuk membuat keputusan mengenai jaket apa yang saya harus pakai hari ini, seberapa tebal baju dalamnya, perlu bawa payung atau tidak, dll. Tampaknya sepele, tapi coba rasakan saja, itu semua menjadi penting sekarang. Saya jadi lebih menghargai keberadaan thermometer (digital).

Dan yang sedikit lebih filosofis buat saya adalah, saya merasa bahwa empat musim itu adalah cerminan dari kehidupan. Ada musim gugur, musim dingin, musim semi, dan musim panas. Buat saya, perputaran keempat musim ini adalah sebuah refleksi sempurna dari hidup kita. Mengapa ? Bagi saya, saya rasa kita semua sepakat bilamana kondisi hidup itu tidak selalu sama. Hidup itu dinamis. Tidak selamanya kita ada di bawah, tapi juga tidak selamanya indah. Banyak yang bilang katanya roda kehidupan itu berputar.

Persis halnya dengan musim. Musim pergi dan datang silih berganti. Tidak selamanya matahari bersinar cerah, tapi juga tidak selamanya salju turun penuhi permukaan tanah. Angin tidak selamanya berhembus pelan dan santun, ada kalanya ia marah tak perdulikan siapapun. Begitu juga dengan suhu udara. Tidak selamanya ia membekukan, menggigit kulit, ada kalanya ia begitu bersahabat.

Kebanyakan orang disini suka musim panas. Musim panas (summer) adalah masa-masa kejayaan bagi mereka. Hari-hari indah penuh keceriaan. Berperahu di kanal, berjemur di taman, bersepeda, bercanda ria. Saya juga suka musim panas. Tapi buat saya, musim favorit saya adalah musim semi. Musim semi buat saya merefleksikan transisi dan transformasi. Seakan ia berkata, "sudahlah, lupakan salju tebal dan suhu ekstrem musim dingin yang lalu. lihat kedepan, songsong hari esok yang akan semakin cerah". Musim semi itu penuh pengharapan, seperti masa muda.

Intinya, buat kita yang sedang ada di "musim panas" hidup kita, selalulah ingat bahwa indah itu tidak selamanya. Akan datang "musim gugur" dan "musim dingin" berikutnya. Dan juga untuk kita yang sedang melewati "musim dingin" hidupnya, ada baiknya kita tidak cepat menyerah dan putus asa karena "musim semi" dan "musim panas" akan segera tiba. Yang dibutuhkan hanya persistence dan kesabaran.

Akhirnya saya berkata kepada diri saya sendiri bahwa, hidup ini memang terlalu indah bila hanya dihabiskan untuk berkeluh kesah. Enjoy spring, people !

Tuesday, March 16, 2010

Sederhana, tanpa metafora

langit mendung, abu-abu pekat
hujan turun, tak bersahabat

aku tak ahli hasilkan karya seni
hanya bisa tuliskan isi hati dalam puisi yang minus komposisi

tak perlu metafora
cukup yang sederhana saja

sudahlah, tak perlu basa-basi lagi
lelah sudah ku berucap sana-sini tanpa substansi

tak peduli orang bilang ini semu
yang jelas, aku rindu

padamu

yang sedang sibuk membaca diktat
di penghujung kota Bandung, Jawa Barat

--
Amsterdam, 150310.

Friday, March 12, 2010

Hidup akan lebih berarti bila disyukuri

Hari Rabu pagi, seperti biasa saya masih bermalas-malasan di depan laptop saya. Memang kadang, punya akses internet dengan kecepat tinggi itu cukup menyita waktu. Kalau tidak pandai-pandai mengatur waktu, satu hari bisa habis di depan laptop untuk hal yang itu-itu saja. Lalu datanglah sebuah e-mail yang masuk ke inbox saya. Setelah saya membacanya, jelas e-mail ini membuat saya sumringah sepanjang hari. E-mail itu datang dari salah satu institusi bergengsi di Britania Raya. Tepatnya, e-mail itu berupa Letter of Offer untuk program Summer School dari London School of Economics. Saya diterima.

Beberapa minggu lalu, saya memang mencoba mendaftar untuk sebuah mata kuliah musim panas di London School of Economics and Political Science, atau yang lebih dikenal dengan LSE. Institusi yang didirikan pada tahun 1895 ini memang telah membuktikan diri sebagai salah satu institusi di bidang ilmu sosial terbaik di dunia. Berdasarkan ranking tahun lalu (2009), Times Higher Education menempatkan LSE di ranking 5 dunia. Hanya kalah dengan Harvard, Berkeley, Oxford dan Cambridge. Sisanya, LSE masih berada diatas Stanford, Yale, Princeton dan Columbia. Diantara semua nama tersebut, mungkin dari sisi jumlah mahasiswa, LSE lah yang paling mini. Dengan jumlah mahasiswa yang hanya sekitar 8,000, LSE memang lebih kecil dibandingkan Harvard yang punya sekitar 20,000 mahasiswa, atau Cambridge yang punya 18,000 mahasiswa. Karena memang dari awal pendiriannya, institusi ini memang didirikan sebagai
specialist single-faculty constituent college.

LSE menjadi bagian dari University of London pada tahun 1900. Sampai hari ini, institusi ini sudah mencetak 17 Nobel Laureate, 43 pimpinan negara, dan masih banyak lagi sisanya. Di Asia, beberapa alumninya termasuk Lee Kuan Yew (Perdana Menteri Singapura) dan Taro Aso (PM Jepang). Sedangkan di Indonesia, beberapa alumni LSE yang cukup reputable dalam pemerintahan meliputi Marty Natalegawa (Menteri Luar Negeri), Dino Patti Djalal (Mantan juru bicara kepresidenan), dan Juwono Sudarsono (Mantan Menteri Pertahanan).

**

Lantas apa sebenarnya yang hendak saya sampaikan disini ? Apa hubungannya dengan judul tulisan ini ? Jadi begini, setelah kemarin saya mendapat surat penerimaan itu lantas saya tertegun. Berhenti sejenak, lantas saya sedikit merenung. Selama dua puluh tahun ini saya hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang Tuhan anugerahkan kepada saya. Dilahirkan dari seorang ibu yang bekerja di perusahaan penerbangan nasional, memungkinkan saya mengunjungi berbagai tempat di tanah air maupun di luar negeri. Fasilitas tiket untuk keluarga karyawan inilah yang sampai kapanpun akan terus saya syukuri. Betapa banyak orang yang ingin bertemu sanak saudaranya di berbagai tempat terhambat masalah biaya. Jangankan naik pesawat, membeli tiket bus saja mereka kesulitan. Sungguh, ini anugerah.

Lalu kesempatan berpendidikan. Seperti yang saya tulis dalam surat aplikasi saya ke Universiteit van Amsterdam, tahukah kalian fakta demografi negara kita ? Seorang dosen ekonomi demografi memberi tahu saya dan rekan-rekan saya bahwasannya, dari total populasi 230 juta penduduk di Indonesia, yang memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi tidak lebih dari 5%. Memang ironis, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-13 di dunia, hanya bisa memfasilitasi kurang dari 5% penduduknya untuk duduk di bangku perguruan tinggi. Tetapi fakta inilah yang membuat saya tidak putus-putusnya bersyukur. Menjadi mahasiswa Universitas Indonesia memanglah sebuah kebangaan bagi saya, tapi itu juga sebuah tanggung jawab besar. Bayangkan kawan, kita semua yang bisa berkuliah ini hanyalah bagian dari 5% penduduk. Lantas kemana yang 95% lainnya ?

Belum lagi ditambah dengan salah satu anugerah terindah yang pernah terjadi dalam hidup saya. Berkuliah di luar negeri. Memang bukan Harvard atau Cambridge, tapi untuk mendapat kesempatan merasakan rasanya belajar di universitas yang tahun lalu menempati ranking 49 dunia sudah cukup membuat banyak sanak saudara dan keluarga saya menangis terharu. Mungkin tidak sampai 0.5% dari populasi kita yang bisa punya kesempatan yang sama seperti saya. Berkesempatan menuntut ilmu di luar negeri, bagi saya adalah bagian dari mimpi, cita-cita, prestasi dan yang jelas karunia Ilahi. Dengan begini saya jelas bisa membuka mata, pola pikir dan wawasan. Tidak hanya sebatas di ruang kelas. Tapi kapan lagi bisa punya kesempatan untuk berdiskusi dan bertukar cerita dari sudut pandang yang berbeda dengan berbagai warga dunia lainnya. Berdiskusi dengan atheis dari Rusia, para sekuler Eropa, sampai dengan mereka yang katanya liberalis dari Amerika. Semuanya ada. Sungguh, semakin banyak tempat saya kunjungi, semakin banyak hal yang harus saya syukuri. Semakin banyak perbincangan saya dengan manusia-manusia dari latar belakang berbeda, semakin saya mengenali jati diri saya sendiri.

Saya pun teringat salah satu sahabat saya menyampaikan kepada saya satu penggalan ayat Al-Qur'an :

"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?"
(QS.55:55)

Dan pernyataan itupun memang diulang berkali-kali dalam surat tersebut (Surat Ar-Rahman). Tidak hanya di ayat 55, tetapi terdapat banyak ayat lainnya di surat tersebut yang artinya adalah sama : "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan ?"

Meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu jelas mengajarkan saya banyak bersyukur. Kepada kawan-kawan yang masih berada di tanah air, bersyukurlah atas nikmat masih bisa mendengar adzan di langit-langit kota kalian. Disini, singkat kata, suara adzan tidak terdengar lebih dari tembok masjidnya. Mengapa ? karena adzan hanya dikumandangkan di dalam masjid tanpa pengeras suara keluar. Bersyukurlah kita untuk hanya perlu melangkahkan kaki beberapa ratus meter untuk menunikan solat Jum'at berjamaah. Disini, saya perlu pergi hampir kurang lebih 10 km jauhnya untuk bisa menunaikan solat Jum'at dengan khotbah berbahasa Indonesia.

Bersyukurlah kita dengan matahari yang terus menyala sepanjang tahun di Indonesia. Disini, bersiaplah merindukan matahari kalau sudah musim dingin. Bersyukurlah kita tidak perlu repot-repot memakai baju berlapis-lapis tebalnya hanya untuk pergi ke warung membeli sayur. Disini, hanya untuk sekedar keluar membuang sampah-pun, saya perlu memakai jaket.

Sudah terlalu banyak nikmat Tuhan yang mungkin selama ini kurang saya syukuri. Pergi ke kampus dengan naik sepeda 4 km jauhnya sambil ditemani hembusan angin dan udara dingin kadang membuat saya mengeluh. Tapi setelah saya renungkan, ternyata itu belum ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan adik-adik kelas saya yang harus jalan kaki ke sekolah tanpa sepatu sejauh 10-15 km di banyak pedalaman di Indonesia. Sungguh, saya harus banyak bersyukur dan berhenti mengeluh.

Pada akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwasannya, dengan bersyukur hidup jadi jauh lebih berarti. Hanya dengan bersyukur dan berterima kasih-lah kita bisa hidup bahagia.
I realize that, to be thankful and grateful is the only way to be happy. Banyaklah bersyukur atas segala nikmat yang telah Tuhan anugerahkan. Manfaatkan dan nikmati segala nikmat itu guna kesejahteraan bersama. Saya sendiri merasa perlu lebih banyak bersyukur dengan cara belajar dengan sungguh-sungguh lalu pulang untuk mengabdi. Pada hakekatnya, yang beruntung harus membantu yang kurang beruntung.

Hanya ada satu kata untuk menutup tulisan ini. Dengan segala kerendahan hati atas semua nikmat yang harus saya syukuri : Alhamdulillah ya Allah.

Wednesday, March 10, 2010

Antara diskusi dan wiski

Angin berhembus cukup sangar kemarin malam. Memang benar, orang bilang ini sudah mulai musim semi. Tapi tetap saja hembusan angin negara kincir angin ini selalu berhasil membekukan wajah dan telinga saya, serta selalu saja membuat hidung saya berkerja ekstra.

Tak lama setelahnya, saya duduk di meja belajar saya sambil dengan santai menikmati secangkir teh hangat. Sembari menyeruput teh hangat, saya mendapati kawan Jerman saya online. Matthias namanya. Sudah beberapa minggu kami tak bersua, padahal dia tinggal di gedung yang sama dengan saya. Perlu diketahui bahwa Matthias adalah seorang mahasiwa tingkat master. Ia mengambil bidang hubungan internasional (tepatnya jurusan resolusi konflik) di universitas yang sama dengan saya.

Saya tanyakan kabarnya serta studinya, lantas ia mengundang saya untuk datang ke kamarnya. Dia mengundang saya untuk datang dan sekedar berbincang sembari ditemani satu seloki whiskey yang baru saja dia beli dari negara asalnya. Saya lirik jam tangan saya yang ternyata menunjukkan pukul sembilan malam. Lantas saya pikir, wiski-nya tidak penting, yang penting perbincangannya.

Bergegaslah saya menuju unit kamarnya yang ada di lantai dasar gedung flat kami yang terbuat dari tumpukan container ini disertai dua botol beer Mexico. Perbincangan pun bergulir. Mulai dari kabar studi, sampai skripsi. Mulai dari musik, sampai konflik. Saya sangat menikmati perbincangan tersebut.

Kami banyak bertukar pandangan tentang berbagai issue global. Dengan latar belakang studi yang saling bersinggungan satu sama lain, membuat perbincangan tersebut makin hangat. Matthias memang sedikit unik, kami lebih sering berbincang tentang hal-hal "serius", walau jelas dia adalah seorang penikmat musik metal yang sangat menjiwai seni. Perbincangan kami selalu hangat, jauh dari kesan monolog, saya benar-benar bisa mendapatkan esensi diskusi setiap kali berbincanga bersamanya. Ia banyak bertanya tentang Indonesia. Dan saya selalu dengan senang hati bercerita tentang baik, buruk, dan potensi kedepan dari negara saya. Saya selalu bilang kalau Indonesia itu bangsa yang besar, walaupun memang masih perlu banyak perbaikan dimana-mana. Ia selalu terkesan dengan fakta-fakta tentang Indonesia. Dia bilang, "Arif, given your stories about your country, your country should play more important and bigger role in addressing global issues". Dia bilang, dalam beberapa tahun kedepan, dia hendak bekerja di Komisi Uni Eropa di Brussels, Belgia.

Semenjak saya datang untuk belajar di Belanda, banyak perubahan yang terjadi pada diri saya. Khususnya perubahan kerangka berfikir atau mindset. Banyak perbincangan dan diskusi, baik formal maupun informal, yang sudah saya lalui disini. Dan saya semakin sadar bahwasannya, to become an open-minded person is a must. Tanpa keterbukaan kerangka berfikir, tidak akan terjadi diskusi. Tanpa keterbukaan kerangka berfikir, diskusi hanya akan jadi wacana. Sudah terlalu banyak perdebatan yang saya lihat terjadi di Indonesia akhir-akhir ini hanyalah menjadi debat kusir. Minus esensi dan substansi.

Yang ingin saya sampaikan disini adalah : yang pertama, keterbukaan kerangka berfikir (open-mindedness) menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki. Tanpa itu, seperti yang saya katakan, tidak akan terjadi diskusi. Yang kedua, diskusi tentang berbagai issue yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak hanya bisa terjadi di ruang-ruang kelas dan auditorium publik saja. Sebut saja kasus saya dan Matthias, kami selalu berbincang dengan sangat santai, tapi selalu berhasil berdiskusi tentang isu-isu besar dunia. Saya tidak hanya melihatnya sebagai diskusi antara dua individu, tetapi lebih melihatnya sebagai diskusi antara dua disiplin ilmu, antara dua budaya, bahkan antara dua agama.

Dan yang terakhir, saya mendapati bahwasannya kaum muda eropa itu sudah lebih terbiasa memperbincangkan hal-hal "serius" dalam keseharian mereka bersama generasinya. Perbincangan mengenai global warming sudah lumrah terjadi di kantin fakultas sembari makan siang. Diskusi wacana konflik Israel-Palestina bisa saja terjadi sore hari di kafe-kafe depan kampus sambil ditemani beberapa gelas beer. Hal inilah yang saya lihat masih perlu ditingkatkan di tanah air. Banyak pemuda yang kadang masih menganggap perbincangan serius itu tabu. Yang membawa isu "berat" tidak akan punya lawan bicara dalam berbagai social occasions. Inikah budaya progressive kita sebagi pemuda dan mahasiswa ?

Mari budayakan diskusi dengan tata cara yang baik dan benar. Tanpa keterbukaan kerangka befikir, diskusi hanyalah ilusi. Serta kemudian, jangan jadi skeptis dan apatis terhadap budaya diskusi. Pemuda dan mahasiwa Indonesia juga harus bisa punya budaya diskusi yang konstruktif dan solutif.

Tuesday, March 9, 2010

Buku, Pesta dan Cinta : sebuah prolog

Pertama-tama perkenalkan, nama saya Arif Nindito. Dua puluh tahun. Seorang mahasiswa tingkat tiga di Universiteit van Amsterdam, Belanda. Sebelumnya saya menempuh dua tahun pertama pendidikan tinggi saya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dan juga, anak pertama dari tiga bersaudara.

Kurang lebih sudah sekitar dua tahun lamanya sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk menjadikan "Buku, Pesta dan Cinta" sebagai nama/judul dari blog saya. Keinginan untuk memakai idiom tersebut sudah ada di benak saya semenjak tahun pertama saya di Universitas Indonesia. Tapi yang ada di kepala saya waktu itu adalah : tidak jadi, tidak yakin, tidak berani.

Akhirnya saya sadar, bahwasannya hidup kadang memang terlalu singkat untuk hanya diisi dengan kata-kata tidak. Lantas hari ini, dengan segala kerendahan hati saya memberanikan diri untuk akhirnya memakai idiom keramat tersebut sebagai nama/judul blog saya.

Sebenarnya, idiom "Buku, Pesta dan Cinta" itu sendiri adalah salah satu bait dari mars Genderang Universitas Indonesia (Genderang UI) yang aransemennya dicipitakan oleh Godfreid Situompul dan liriknya adalah karya Husseyn Umar. Mars ini pertama diciptakan pada tahun 1957. Seiring bergulirnya waktu, bait itu pun diubah padah sekitar tahun 1964 menjadi bait yang kita dengar sekarang dalam mars Genderang UI yang selalu dinyanyikan dalam hampir setiap acara resmi universitas. Bila anda tertarik akan sejarah dari mars tersebut anda bisa membacanya di Menelusuri sejarah lahirnya mars genderang UI.

Mengapa saya katakan keramat, karena saya sadar betul bahwa idiom "Buku, Pesta dan Cinta" bukanlah sekedar bait biasa. Idiom ini bagi banyak civitas academica Universitas Indonesia memberikan arti tersendiri bagi hidup mereka. Bagi mahasiswa dan aktivis pada masa 1960-1970an, idiom ini adalah spirit, simbolisasi, bahkan mungkin kalau boleh saya katakan "ideologi" dalam kehidupan kemahasiswaan dan kepemudaan generasi itu.

Pada masa kini, mungkin generasi hari ini lebih mengenal "Buku, Pesta dan Cinta" dari sosok seorang Soe Hoek Gie. Sosok mahasiswa yang menjadi simbol perjuangan generasinya yang buku hariannya kembali dicetak, dibuat film, dan makin dipopulerkan dalam bentuk lain. Jelas, nama Soe Hoek Gie identik dengan idiom tersebut.

**

Setiap kali saya teringat akan hal-hal besar dan hebat tersebut, saya selalu ragu untuk menggunakan "Buku, Pesta dan Cinta" sebagai nama/judul blog saya seperti yang telah saya utarakan. Bila dibandingkan dengan cerita dibalik idiom tersebut, saya merasa apa yang saya tulis dan ceritakan disini mungkin tidak ada apa-apanya. Konteks yang akan saya angkat pun mungkin berbeda dari konsep ke-aktivis-an pada umumnya. Tapi itulah yang akhirnya membuat saya yakin dan berani menggunakan idiom tersebut. Karena saya berpendapat, untuk jadi berbeda itu penting. Untuk memiliki kerangka berfikir yang orisinil itu adalah sebuah keharusan.

Saya tidak muluk-muluk untuk bisa ikut angkat bicara soal negara, saya hanya ingin menulis sesuai dengan kapasitas saya. Tulisan-tulisan saya pada blog ini hanyalah rangkaian kisah, pemikiran, serta gambaran perasaan seorang muda pada zamannya dengan segala dinamika dan dialetikanya.

Serta tak lupa, saya ingin menyampaikan rasa hormat serta penghargaan kepada seluruh civitas academica Universitas Indonesia yang mungkin memiliki hubungan emosional dengan idiom "Buku, Pesta dan Cinta". Saya berharap, semangat perubahan yang telah kalian contohkan pada generasi-generasi sebelumnya dapat diteruskan.

Terkahir, bila Soe Hoek Gie telah memberikan banyak inspirasi dengan buku catatan harian-nya, maka izinkanlah saya berkarya dengan tulisan-tulisan saya di blog ini.