Wednesday, March 10, 2010

Antara diskusi dan wiski

Angin berhembus cukup sangar kemarin malam. Memang benar, orang bilang ini sudah mulai musim semi. Tapi tetap saja hembusan angin negara kincir angin ini selalu berhasil membekukan wajah dan telinga saya, serta selalu saja membuat hidung saya berkerja ekstra.

Tak lama setelahnya, saya duduk di meja belajar saya sambil dengan santai menikmati secangkir teh hangat. Sembari menyeruput teh hangat, saya mendapati kawan Jerman saya online. Matthias namanya. Sudah beberapa minggu kami tak bersua, padahal dia tinggal di gedung yang sama dengan saya. Perlu diketahui bahwa Matthias adalah seorang mahasiwa tingkat master. Ia mengambil bidang hubungan internasional (tepatnya jurusan resolusi konflik) di universitas yang sama dengan saya.

Saya tanyakan kabarnya serta studinya, lantas ia mengundang saya untuk datang ke kamarnya. Dia mengundang saya untuk datang dan sekedar berbincang sembari ditemani satu seloki whiskey yang baru saja dia beli dari negara asalnya. Saya lirik jam tangan saya yang ternyata menunjukkan pukul sembilan malam. Lantas saya pikir, wiski-nya tidak penting, yang penting perbincangannya.

Bergegaslah saya menuju unit kamarnya yang ada di lantai dasar gedung flat kami yang terbuat dari tumpukan container ini disertai dua botol beer Mexico. Perbincangan pun bergulir. Mulai dari kabar studi, sampai skripsi. Mulai dari musik, sampai konflik. Saya sangat menikmati perbincangan tersebut.

Kami banyak bertukar pandangan tentang berbagai issue global. Dengan latar belakang studi yang saling bersinggungan satu sama lain, membuat perbincangan tersebut makin hangat. Matthias memang sedikit unik, kami lebih sering berbincang tentang hal-hal "serius", walau jelas dia adalah seorang penikmat musik metal yang sangat menjiwai seni. Perbincangan kami selalu hangat, jauh dari kesan monolog, saya benar-benar bisa mendapatkan esensi diskusi setiap kali berbincanga bersamanya. Ia banyak bertanya tentang Indonesia. Dan saya selalu dengan senang hati bercerita tentang baik, buruk, dan potensi kedepan dari negara saya. Saya selalu bilang kalau Indonesia itu bangsa yang besar, walaupun memang masih perlu banyak perbaikan dimana-mana. Ia selalu terkesan dengan fakta-fakta tentang Indonesia. Dia bilang, "Arif, given your stories about your country, your country should play more important and bigger role in addressing global issues". Dia bilang, dalam beberapa tahun kedepan, dia hendak bekerja di Komisi Uni Eropa di Brussels, Belgia.

Semenjak saya datang untuk belajar di Belanda, banyak perubahan yang terjadi pada diri saya. Khususnya perubahan kerangka berfikir atau mindset. Banyak perbincangan dan diskusi, baik formal maupun informal, yang sudah saya lalui disini. Dan saya semakin sadar bahwasannya, to become an open-minded person is a must. Tanpa keterbukaan kerangka berfikir, tidak akan terjadi diskusi. Tanpa keterbukaan kerangka berfikir, diskusi hanya akan jadi wacana. Sudah terlalu banyak perdebatan yang saya lihat terjadi di Indonesia akhir-akhir ini hanyalah menjadi debat kusir. Minus esensi dan substansi.

Yang ingin saya sampaikan disini adalah : yang pertama, keterbukaan kerangka berfikir (open-mindedness) menjadi sebuah keharusan untuk dimiliki. Tanpa itu, seperti yang saya katakan, tidak akan terjadi diskusi. Yang kedua, diskusi tentang berbagai issue yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak hanya bisa terjadi di ruang-ruang kelas dan auditorium publik saja. Sebut saja kasus saya dan Matthias, kami selalu berbincang dengan sangat santai, tapi selalu berhasil berdiskusi tentang isu-isu besar dunia. Saya tidak hanya melihatnya sebagai diskusi antara dua individu, tetapi lebih melihatnya sebagai diskusi antara dua disiplin ilmu, antara dua budaya, bahkan antara dua agama.

Dan yang terakhir, saya mendapati bahwasannya kaum muda eropa itu sudah lebih terbiasa memperbincangkan hal-hal "serius" dalam keseharian mereka bersama generasinya. Perbincangan mengenai global warming sudah lumrah terjadi di kantin fakultas sembari makan siang. Diskusi wacana konflik Israel-Palestina bisa saja terjadi sore hari di kafe-kafe depan kampus sambil ditemani beberapa gelas beer. Hal inilah yang saya lihat masih perlu ditingkatkan di tanah air. Banyak pemuda yang kadang masih menganggap perbincangan serius itu tabu. Yang membawa isu "berat" tidak akan punya lawan bicara dalam berbagai social occasions. Inikah budaya progressive kita sebagi pemuda dan mahasiswa ?

Mari budayakan diskusi dengan tata cara yang baik dan benar. Tanpa keterbukaan kerangka befikir, diskusi hanyalah ilusi. Serta kemudian, jangan jadi skeptis dan apatis terhadap budaya diskusi. Pemuda dan mahasiwa Indonesia juga harus bisa punya budaya diskusi yang konstruktif dan solutif.

No comments:

Post a Comment